Dua jam yang begitu bermakna

Juli 2002. Di sebuah ruang kuliah, tidak ber-AC, satu buah meja kayu dan dua kursi merk Chitose dengan posisi saling berhadapan. Salah satunya menghadap ke utara diduduki olehku, yang saat itu merasa seperti seorang pesakitan. Jantungku berdegup kencang, duduk salah tingkah, jari-jari tangan bergerak tanpa disadari. Orang Sunda bilang, “teu puguh cagap“. Pertama kalinya dalam hidup menjalani sebuah wawancara, setelah satu tahun lebih diluluskan dari bangku kuliah. Bukan wawancara kerja tetapi wawancara untuk kuliah lagi. Sebuah pilihan yang mau tidak mau harus kuambil saat itu. Juga bukan wawancara biasa, karena ada sebagian isinya yang masih begitu jelas dalam ingatan.

Nama saya Teuku Lukman Aziz, begitu beliau mengenalkan dirinya, sambil membolak-balik lembaran kertas berisi biodataku. Pastilah ia orang yang rendah hati, begitu pikirku. Aku tahu ia bergelar doktor tetapi ia hanya menyebut namanya saja. Di tengah keheningan, tiba-tiba ia bertanya, “Mengapa tidak mendaftar beasiswa ke luar negeri? Nilai TOEFL Anda lebih dari cukup”. Disodori pertanyaan seperti itu, aku gelagapan. Jawaban standar yang sudah kusiapkan pun buyar.

Entah berapa lama saat itu aku bersikap seolah-olah berpikir mencari jawaban yang tepat. Beliau cukup lama juga membiarkanku dalam kebingungan sampai akhirnya menegakkan posisi duduknya dan menatapku agar segera menjawab. Yang terlontar saat itu bukanlah jawaban, tetapi sebuah kilah. “Saya masih bekerja di sebuah LSM Lingkungan dan masih mencoba untuk membantu LSM tersebut sambil kuliah”, kataku. Beliau mengangguk-angguk, entah mengerti atau hanya basa-basi. Aku berdoa dalam hati agar beliau segera beralih ke pertanyaan selanjutnya. Aku tahu itu bukanlah jawaban jujur karena alasan sebenarnya tidak mencoba melamar beasiswa ke luar negeri adalah karena tidak pede. Sebuah penyakit umum yang menjangkiti sebagian besar bangsa Indonesia.

Alhamdulillah, beliau beralih ke pertanyaan-pertanyaan yang biasa seperti motivasi kuliah, pekerjaan saat ini dan sebagainya. Pertanyaan dan jawabannya yang kulontarkan pun standar saja. Aku lupa detilnya seperti apa. Bagian paling penting yang kuingat sampai sekarang adalah saat beliau menceritakan tentang kunci suksesnya. Mungkin beliau bercerita seperti itu untuk memberikan motivasi. Yang jelas bukan karena alasan narsis.

Sejak kecil, begitu ia memulai ceritanya, ayahnya selalu membangunkannya saat azan Subuh berkumandang. Dengan cara apapun. Apalagi saat ia sudah mulai masuk sekolah. Setelah shalat Subuh adalah saatnya membaca, apapun. Entah itu mengulang pelajaran hari kemarin, mempersiapkan pelajaran hari itu atau membaca Al-Quran, dan baru disudahi beberapa saat menjelang pukul tujuh pagi sebelum berangkat ke sekolah. Setelah itu? Ya sudah, tidak ada lagi belajar sampai malam. Begitulah rutinitas sehari-harinya.

Rutinitas seperti itu pula yang diterapkan saat beliau kuliah di ITB. Untuk belajar, cukup dua jam saja sehabis subuh. Siang hari digunakan untuk kuliah, sore hari untuk aktivitas lainnya bahkan malam hari pun, main band. Saat itu, ia juga sempat menjadi ketua Paguyuban Mahasiswa Bandung. Aktivitasnya full tetapi tidak menghambat tugasnya sebagai mahasiswa untuk berprestasi. Dengan modal dua jam sehabis subuh pula beliau menyelesaikan studinya hingga jenjang doktoral.

Saat itu, aku manggut-manggut saja, seolah mengerti. Padahal menahan kantuk karena kurang tidur, bukan karena belajar pula. Entah mengapa, dongengnya masih saja terasa seperti kemarin. Sebuah pesan yang sederhana tetapi sungguh sulit untuk dilakukan. Godaan untuk tidur lagi sehabis subuh selalu begitu besar padahal pagi hari lah saat yang paling sesuai untuk berpikir. Di pagi hari, badan masih segar, emosi juga masih terkendali, belum ada konflik, yang pasti mengganggu konsentrasi. Dengan tidak tidur lagi sehabis subuh juga berarti kita beribadah karena mengikuti anjuran Rasulullah. “Malu dong sama ayam, pagi-pagi sudah cari makan”, begitu kata orang tua.

Kini, aku masih belajar untuk mengikuti pesannya tersebut. Juga berjanji akan menyampaikan pada orang lain, terutama anakku. Pada mereka yang masih muda dan penuh semangat. Pun pada mereka yang belum tahu apa yang akan dilakukan di masa depan. Mengapa? Karena kutahu, dua jam yang bermakna setelah subuh merupakan sebuah kebaikan. Di dalamnya terkandung makna bersegera dalam kebaikan, tidak menunda-nunda pekerjaan, menabung (ilmu), disiplin dan beramal saleh mengikuti anjuran Rasulullah.

Untuk Pak Lukman,

Mudah-mudahan kebaikannya menjadi sebab kesembuhan beliau dari penyakit

4 responses to “Dua jam yang begitu bermakna

  1. jadi sudah anda jalani nasehatnya pak lukman tersebut??

    Suka

  2. makasih ya mas, blog nya bagus… semoga bisa kita manfaatkan dua jam setelah sholat shubuh tersebut, benar sekali…

    Suka

  3. @asep: kamsudnya?
    @keuykeuy:trims sdh mampir

    Suka

  4. Terharu sekali membacanya, saya baru tahu.
    Terima kasih atas doanya, beliau baru saja berpulang ke Rahmatullah dini hari tadi.
    Semoga amal dan ibadahnya diterima disisiNya.
    Sebarkan terus inspirasi kecil tersebut, semoga membawa berkah untuk kita semua. 🙂

    Suka

Tinggalkan komentar