Misalnya, saya ini seorang Albert Einstein dan menumpang taksi. Setelah sampai tujuan, sang juru mudi terlihat bingung menghitung uang kembalian. Karena saya adalah orang paling pintar sedunia, boleh dong saya katakan kepadanya, “Eh Bang, ente lulus SD nggak, ngitung uang segitu doang susah amat?”
Andaikata, saya sekaya si Oom Zuckerberg dan singgah di sebuah rumah kopi untuk berteduh dan berleha-leha (uang banyak, ngapain lagi coba). Saat mencicipi kopi yang disajikan, ternyata manisnya gak ketulungan. Wajar dong saya berujar, “Eh Tong, ini kopi apa kolek? Manis banget. Mana manajernya? Panggil ke sini, sekalian ama yang punya dah, gua beli ama tempatnya semua!”
Saya bisa tulis banyak contoh lain, yang faktanya memang tidak bisa dipungkiri. Pertanyaannya adalah, apakah Anda setuju dengan sikap saya? Saya kan bertindak sesuai fakta, saya amat sangat pintar seperti Einstein atau tajir pisan seperti si Oom Zuckerberg. Tidak setuju? Anda berhak untuk tidak setuju tapi saya juga berhak dong bertindak sesuai fakta. “Motor aing kumaha aing“, istilahnya begitu.
Saya yakin tidak satupun dari Anda yang setuju dengan sikap sombong bin arogan seperti itu. Ngono yo ngono tapi yo ojo ngono. Kalau kita ingat ajaran guru ngaji atau guru PMP (ketahuan angkatan jadul ya), penyebab iblis diusir Tuhan dari surga bukanlah karena ia tidak mengakui adanya Tuhan. Ia tahu, bahkan lebih tahu dari kita manusia. Ia sudah melihat dengan matanya sendiri rupanya Tuhan seperti apa. Ia ‘haqqul yaqin’ atas kekuasaan-Nya. Lantas mengapa ia menolak perintah Tuhan untuk bersujud pada Adam, manusia pertama? Alasannya sederhana, karena ia merasa lebih baik dari Adam. Ia merasa api lebih baik dari tanah. Ia katakan bahwa tanah itu hina.
Kalau boleh saya berandai-andai, “Mungkin iblis belum belajar ilmu secara holistik, secara menyeluruh“. Ia hanya mengerti satu sudut pandang saja. Ketika kita lihat api yang dapat menyebabkan tanah terbakar, ya api lebih ‘berkuasa’ atas tanah. Kalau kita coba sudut pandang lain, ketika tanah lempung dibakar, ia dapat berubah menjadi perkakas yang lebih berharga dari api. Atau sudut pandang lainnya, ketika tanah disiram air, maka ia akan menjadi tempat yang subur, bermanfaat sebagai tempat bersemainya benih dan tumbuh menjadi tanaman. Apa jadinya bila api disiram air? Tewas!
Ketika ada Kelompok AÂ mengatakan kami lebih baik, Kelompok B bilang Kelompok A itu ndableg ya, tidak bisa membedakan mana yang benar, mana yang salah. Ada lagi Kelompok C, kelompok lain yang mungkin seperti saya, yang mengatakan kelompok A ataupun B ada benar dan ada salahnya, kenapa sih harus saling menyinyiri, saling menyindir. Saya khawatir saya pun merasa lebih baik dari mereka. Apa sebab? Iblis amat sangat lihai menyusupkan perasaan sombong ke dalam hati kita. Ia seperti semut hitam di atas batu hitam, dilihat pada malam hari. Kita harus khawatir ketika ada perasaan, walaupun secuil, merasa lebih baik, lebih benar, dari orang lain. Jangan-jangan itu rasa sombong yang disemai oleh Iblis.
Yuk mari kita abaikan trending topic, tweet war, debat kusir di tipi atau dunia maya. Kita jaga pertemanan kita, jangan hanya gara-gara perbedaan cara pandang, atau berseberangan partai politik, kita enggan untuk melanjutkan hubungan kita. Tidak ada hal yang lebih berharga dari sebuah pertemanan. Ketika ada teman saya menutup jalur komunikasi pada teman saya yang lain, di situ saya merasa sedih.
âSince there is nothing so well worth having as friends, never lose a chance to make them.â
â Francesco Guicciardini