Sopan santun

Dokter jaga: Bayi Ny. Wawan?

Ayah : Ny. Wawang, ya.

Dokter jaga: Anak ke berapa?

Ayah : Kedua Dok.

Dokter jaga : Ada riwayat kuning?

Ayah : Tidak ada Dok.

Dokter memeriksa detak jantung anak kami yang kedua, sementara Ibu sudah bangun.

Ibu : Kira-kira kenapa ya Dok, bisa kuning, padahal anak pertama kami tidak begitu?

Dokter jaga : ….

Dokter jaga : Tolong ini nanti kalau panas, tirainya dibuka ya.

Setelah itu, dokter jaga ngeloyor pergi, membelakangi kami berdua.

Kami berdua terpana. Saya berpikir, “Loh, si dokter mau pergi kemana? Kok gak bilang-bilang?”. Dokter jaga itu memang masih muda, mungkin masih di bawah 30 tahun. Tapi seusia itu kan harusnya tahu tatakrama. Saya tidak habis pikir, apakah untuk mendapat sertifikat dokter tidak diajarkan sopan santun. Padahal tadi malam, saya melihat di meja resepsionis ada SOP untuk menjawab telepon. Mereka dianjurkan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu. Lah ini, dokter yang secara intelektual lebih tinggi dibandingkan resepsionis, tapi datang tidak mengucapkan salam, pergi pun tak pamit.

Dokter jaga kok kalah oleh petugas penyapu lantai. Mereka saat datang mengucapkan salam, secara islami pula. Saat menyapu dan mengepel lantai pun mengucapkan permisi karena mengganggu. Saya jadi berpikir, apakah memang ada yang salah dengan budaya kita saat ini? Apakah sopan santun hanya berlaku bagi mereka yang (dianggap) lebih rendah bukan bagi mereka yang kastanya lebih tinggi?

Memang, kami baru menemukan satu kasus seperti ini. Mungkin beliau lupa. Atau memang begitu karakternya, cuek. Kami hanya berkomentar saja, lewat  blog ini, mudah-mudahan yang umum bukanlah seperti ini. Seperti dokter jaga tadi malam, yang begitu ramah, penuh senyum melayani kami hingga anak kami sampai ke ruangan perawatan. Mudah-mudahan ini hanya perasaan Dik Firman saja.

Tinggalkan komentar